[+/-]

Kelasku X IPA 1!!!

[+/-]

Cerpen Langit tugas bahasa indonesia

Kelasku X IPA 1!!!

Angin Pasat goes to Ciwidey... (07/03/11)



 Angin Pasat goes to puncak (18-19/04/11)
  Together we are AnginPasat (Anak Garing Intelek Ipa Satu)... :)

Cerpen Langit tugas bahasa indonesia


Surat Untuk Langit...
            Oleh: Afina Rahmani X IPA 1

            “Hai langit... apa kabarmu? Kami harap kau baik-baik saja.... Kami disini selalu merindukanmu, dimanapun kau berada sekarang kami kan selalu jadi temanmu. Salam hangat, teman-temanmu”.

Semua ini berawal dari hari itu. Aku ingat pagi itu kudengar suara telefon genggam berbunyi. “Hai Ra, sudah bangun belum? Bangun itu jangan siang-siang gini dong, kan nanti jadi telat. Aku sudah menunggu di depan nih,” kata suara di telefon itu. Kubuka jendela, kulihat dua tangan melambai penuh semangat. Langit, ya itulah namanya, teman terbaikku. Setiap pagi kami selalu berangkat ke sekolah bersama. “Lama sekali kamu Ra, kita sudah hampir telat. Kamu ingat kan pagi ini ada pelajarannya Bu Desi?, sudah mengerjakan PR kan?,” kata Langit mengingatkan. Langit tahu persis sikapku yang pelupanya minta ampun.

Bel sekolah berbunyi, tanda murid-murid harus segera masuk ke kelas. Terutama kelasku, karena pelajaran pertama adalah pelajaran Bu Desi, kepala sekolah sekaligus guru matematika kelasku. “Pagi anak-anak, hari ini ulangan akan dibagikan. Kalian pelajari baik-baik ulangan ini untuk ulangan mendatang. Langit, selamat kau mendapat nilai terbaik lagi, ibu bangga sekali dengan prestasimu.” Seluruh kelas memberikan sorakan untuk Langit. Ya, ia selalu jadi yang terbaik di kelas. Semua teman-teman di kelas sangat suka dengan Langit, ia baik, pintar, tidak sombong, dan selalu menjadi penyemangat di kelas kami. Aku bersyukur bisa jadi teman dekatnya, siapa yang tidak ingin memiliki teman dekat seperti ini?. Tiara contohnya, gadis manis dan cantik di kelasku. “Ira, kau lihat Langit?,” teriak Tiara memanggil. “Maaf aku kurang tahu. Tadi sih ada di kelas, aku tadi ke toilet sebentar. Mungkin sedang bermain bola?,” kataku. Tiara, temanku yang satu ini cantik, baik, dan kelihatannya suka dengan Langit. Aku senang saat melihat pipi Langit yang memerah kalau tiba-tiba Tiara mengajaknnya berbicara.

Semua berjalan seperti biasanya hari ini. Pelajaran demi pelajaran berlalu, sampai saat pelajaran terakhir, terdengar suara ketukan di pintu kelasku. “Assalamualaikum, maaf bisa bicara dengan Langit sebentar?,” ternyata itu Pak Reza, wali kelasku, memanggil Langit. Langit pun ikut dengan Pak Reza entah kemana.

Waktu telah menunjukkan pukul 2 siang, sudah saatnya pulang sekolah, tapi sejak pelajaran tadi tak kulihat Langit kembali ke kelas. Ia memang jarang pulang bersamaku, tapi kali ini kulihat tasnya masih ada di bangkunya. “Mungkin ia bersama Tiara,” pikirku. “Hei, kamu lihat Langit tidak?,” tanyaku pada Tiara. “Ya, tadi aku lihat dia pergi ke arah gerbang, aku kira dia sudah pulang. Coba kamu tanya Rezky,” jawab Tiara. Mungkin Rezky tahu, Langit biasa bermain bola dengannya atau mungkin benar ia sudah pulang. Akhirnya kuputuskan untuk pulang. Di perjalanan, tiba-tiba aku ingat ada yang aneh di muka Langit jam pelajaran terakhir itu. Sepanjang pelajaran ia bolak-balik melihat jam dan telepon genggamnya.

Sesampainya ku di rumah, aku memutuskan untuk menelepon Langit. Tidak ada jawaban. Kucoba menghubungi telefon rumahnya, tidak diangkat. Terpikir di benakku untuk pergi menemuinya di rumahnya. Astagfirullah... aku baru ingat, dari dulu sejak aku mengenal Langit, aku tidak pernah tahu apa lagi mengunjungi rumahnya. Sejak SD Langit lah yang selalu datang ke rumahku. Aku juga tak pernah bertemu dengan keluarganya. Tiba-tiba, ingatanku tentang cerita itu membuatku takut.Tidak! aku tak boleh berpikir sejauh itu. Langit orang yang sangat baik, tentunya orang tuanya juga akan baik padanya. Malam itu, aku berusaha untuk menghubunginya lagi, lagi, dan lagi. Hingga akhirnya, “Assalamualaikum,” jawab suara di telefon. “Waalaikumsalam, Langit? Kemana kamu tadi siang? Aku coba telpon tapi tidak diangkat, kurasa ada yang mulai sombong. Pasti gara-gara dapat nilai bagus, ya?,” canda ku, lega rasanya bisa mendengar suaranya. Tapi tak terdengar jawaban. “Halo, Langit?, aku bercanda ko... Halo?,” kataku lagi. “Oh ya, halo... em, Ra, aku tidak bisa lama-lama, rasanya capek sekali hari ini. Em, oh ya, aku minta maaf ya... bukan hanya  yang tadi aja, yang lain juga aku minta maaf. Em, dadah Ira. Salam buat teman-teman yang lain ya,” jawab Langit. Tak biasanya ia seperti ini. Biasanya ia selalu bersemangat sekalipun sudah malam. Kata-kata tadi rasanya ada yang janggal, apa maksudnya ‘maaf tentang yang lain juga’? apa maksudnya ‘salam buat teman-teman yang lain’? Tak habis-habisnya aku memikirkan itu, hingga aku tak bisa tidur dengan lelap malam itu.


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Esok harinya, tak terdengar suara telefon yang biasa setiap pagi membangunkanku. Ketika kubuka jendela, tak ada seorang pun di gerbang depan rumahku. Sesampainya  di sekolah, bangku itu pun kosong. Mungkin ia telat, pikirku. Pelajaran pertama pun dimulai, kedua, ketiga, tak terlihat ada orang yang lari tergopoh-gopoh ke depan pintu kelas seperti yang kubayangkan. Kulihat sekali lagi bangku itu, masih kosong. “Ira, kamu tahu kenapa Langit tidak masuk hari ini?,” tanya Bu Desi. “Em.. tidak bu,” jawabku. Pelajaran terakhir pun berakhir, bangku itu kosong hari ini. Kemana Langit? Apa maksudnya tadi malam?
Sepulang sekolah, Ibu terlihat sedang sibuk di telefon, “Ira... ada telpon dari mamanya Langit!,” kata ibu. Mamanya Langit? Sejak kapan ia tahu aku? Kenapa ia meneloponku?. “Assalamualaikum, Ira?,” kata suara di telefon. “Waalaikumsalam, ya, ini saya tante, ada apa ya?,” tanyaku heran. “Kamu tahu di mana Langit?,” kata suara itu lagi. Langit? Apa maksudnya ‘di mana Langit?’ Kalau benar ini ibunya, seharusnya ia tahu Langit hari ini tidak masuk sekolah. Tapi kenapa harus tanya Langit ada di mana?. “Halo?,” kata suara itu. “Oh.. halo. Em, bukannya hari ini Langit tidak masuk sekolah tante?,” jawabku gugup sekaligus heran dan takut. “Tut...tut...tut...” telefon tiba-tiba putus. Heran, apa maksudnya semua ini?.

Keesokan harinya, sama seperti sebelumnya tak ada suara telefon begitu juga orang di depan gerbang rumahku. Tapi setibanya di sekolah, hatiku tiba-tiba tersenyum gembira melihat tas yang biasa kulihat di bangku itu. Seorang laki-laki berseragam duduk di bangku itu. Langit! ia melihat kearahku. Namun, sekejap senyumku hilang, terhembus oleh tatapan tajam Langit. Tak ada senyum di wajahnya. Bel masuk memecah rasa heranku. Ulangan matematika pun dibagikan. Seperti biasa semua murid fokus mengerjakan soal. Aku yakin, Langit pasti akan jadi yang pertama kali mengumpulkan. Satu demi satu murid keluar, aku pun sudah selesai dengan ulanganku. “Langit! apa maksudnya ini? Kalau kamu sudah selesai mengerjakan soal-soal ini sebaiknya kamu mengumpulkannya bukannya tidur! Tak biasanya kamu seperti ini?,” tegur Bu Desi. Tiba-tiba muka Bu Desi berubah. “Apa maksudnya ini?,” teriak Bu Desi marah sambil mengangkat dan memperlihatkan lembar jawaban kosong ke depan wajah Langit. “Ya lembar jawaban bu. Sudah tahu nanya,” jawab Langit ketus, “Sudah bel kan bu? Ini bu lembar jawaban dan soalnya.” Langit keluar kelas dengan ringannya. Bu Desi hanya bisa terdiam kebingungan dengan sikap Langit yang tiba-tiba berubah 180 derajat.

Ternyata tidak hanya Bu Desi dan Aku, seluruh sekolah tercengang keheranan melihat tingkah Langit. Rezky dan Tiara pun heran. “Ra, kamu apakan Langit?, atau Tiara? Kamu tolak dia ya?,” tanya Rezky bercanda. Tiara dan aku hanya diam. Pulang sekolah kulihat Langit langsung bergegas pulang. Tak berani mengikuti, aku pun pulang dengan pikiran penuh pertanyaan.

Keesokan harinya pun terus seperti itu. Kelakukannya yang baik berubah drastis menjadi nakal dan tak peduli dengan siapa pun. Prestasi akademiknya pun menurun. Sampai akhrinya takku lihat lagi wajah itu. “Ira, sini ikut bapak,” panggil Pak Reza. Aku duduk di depan meja Pak Reza. “Ra, kamu tahu kan akhir-akhir ini Langit tak seperti biasanya, bahkan sudah jarang masuk sekolah lagi. Bapak yakin kamu juga tidak tahu apa masalahnya? Iya kan?,” tanya Pak Reza sambil memandang secarik kertas. “I, iya pak, saya tidak tahu alasannya,” jawabku gugup. “Begini, bapak percayakan ini pada kamu. Ini surat dari Langit beberapa hari yang lalu sebelum ia tak muncul lagi di sekolah ini. Bapak sebagai wali kelas, ingin kamu sebagai sahabatnya Langit, ikut bersama bapak ke rumahnya. Rencananya pulang sekolah ini. Bagaimana?,” tutur Pak Reza. Ku baca surat itu:


“Assalamualaikum, Pak Reza.
Maaf saya mengganggu, pak. Saya hanya ingin pamit dan minta
maaf atas kelakuan saya akhir-akhir ini.        
Kalau saya ceritakan  juga mungkin bapak tidak akan mengerti,
Ira mungkin sudah tahu itu pak. Saya sekarang tak bisa bersekolah lagi disini.
Saya minta maaf sebelumnya tak ada keterangan dari orang tua mengenai hal itu.
Saya masih ingin sekolah di sini pak. Tapi masalah yang saya hadapi rasanya terlalu berat.
Memang aneh pak, seorang murid keluar tanpa keterangan dari orang tuanya, saya
harap bapak bisa mengerti. Bapak mungkin bisa tanya Ira. Ku titip salam untuknya ya
pak? Rezky dan teman yang lain juga. Saya titip salam maaf pada mereka.
                                                                                                                Wassalam,
                                                                                                                Langit.
            

    Tak sadar ku teteskan air mata. Ternyata benar yang selama ini aku curigai? Apa itu benar?. “Iya pak saya, mau,” jawabku sambil menghapus air mata. Seperti yang sudah kudengar dari mulut Langit sebelumnya. Ibunya pun bercerita sama persis seperti yang kuingat waktu itu. “Ra, kamu percaya tidak? Aku senang sekali kalau bisa tinggal di rumahmu. Di sini aku bisa mengerti apa artinya keluarga. Ada ayah yang selalu berwibawa dalam menyelesaikan masalah dan bisa diajak bercanda. Ada ibu yang selalu mengerti keadaan kita, yang selalu membantu saat kita membutuhkannya. Juga ada saudara yang menjadi teman sejati kita. Aku harap Ra, aku punya keluarga seperti kamu dan saudara seperti kamu, yang bisa mengerti aku.”    

                Langit dari kecil hidup dalam keluarga yang tak pernah memerhatikan dirinya. Ayahnya sibuk, begitupun dengan ibunya. Ia memang orang kaya, rumahnya besar sekali. Dari kecil ia diurus oleh kakeknya. Ia sangat sayang dengan kakeknya itu. Aku kenal kakeknya, saat SD beliau lah yang mengantar dan menjemput Langit. Setelah masuk SMP tak pernah kulihat kakeknya itu lagi. Langit selalu bangga menceritakan masa kecilnya bersama kakeknya itu. Aku selalu terhibur melihat tingkah Langit menirukan kakeknya yang sedang menasihati Langit dengan berbagai guyonan. Ternyata hari saat ia tiba-tiba menghilang itu adalah hari terakhirnya memiliki sosok yang paling ia cintai dalam keluarganya. Kakeknya meninggal karena sakit yang dideritanya sejak dulu. Kini aku mengerti kenapa setelah kita duduk di bangku SMA, setiap pulang sekolah ia selalu terlihat lesu dan ingin segera pulang.  Sebelum kakeknya meninggal, Ibu dan ayah Langit bercerai. Kini ia sendiri. Hari di mana Langit bolos sekolah adalah hari saat ia kabur dari rumahnya. Ibu atau ayahnya tak pernah tahu di mana Langit sekarang. Tapi aku yakin Langit tahu jalan terbaik untuk dirinya.
  

         ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
               
         Sejak saat itu, aku selalu menulis surat untuk sahabat baikku itu. Sekalipun aku tak tahu kemana kuharus mengirimnya. Seluruh teman dikelas pun membuat surat. Suatu saat di hari kelulusan SMA sekaligus hari ulang tahun ke-18 Langit, aku dan teman-teman sekelas membuat sebuah surat untuk Langit:


“Assalamualaikum, hai Langit... apa kabarmu? Kami harap kau baik-baik saja.... Kami disini selalu merindukanmu. Sudah lama rasanya tak melihatmu di sini. Kelas terasa membosankan tanpa guyonanmu dan keceriaanmu yang menghiasi kelas ini. Saat kau pergi dari sekolah, kami selalu mengosongkan bangkumu, berharap kau akan datang kesiangan berlali ke kelas dengan muka lugu. Tapi tak pernah itu terjadi. Saat pelepasan kemarin, kami meminta ibu dan ayahmu untuk datang, berharap kau akan ikut juga dengan mereka, mengenakan toga kelulusan  seperti kami. Tapi itu tak terjadi. Kau masih ingat Tiara? Gadis manis yang selalu membuat pipimu merah? Hari ini ia pergi dengan keluarganya ke Amerika untuk melanjutkan kuliah di sana, ia titip salam untukmu. Ira, sekarang ikut menulis surat ini. Rezky juga ikut, kini ia sudah menjadi siswa di sekolah sepakbola nasional. Kau tahu Langit? sudah berpuluh-puluh surat kami buat untukmu, tapi tak tahu kemana harus mengirimkannya. Surat-surat itu bersama surat ini akan kami pajang di kelas kami, ya kelas kita. Kami harap kau akan datang dan tahu betapa rindunya kami denganmu. Dimanapun kau berada, kami kan selalu jadi temanmu. Salam hangat, teman-temanmu.”
                
 Surat terakhir kami untuk Langit dipajang bersama dengan surat-surat lainnya di kelasku. Aku selalu berharap, suatu saat ada seorang pria yang melihat surat-surat ini dan meneteskan air mata yang sama seperti kami saat ini.
                 
              Tahun demi tahun berlalu, kini aku telah menyelesaikan kuliahku. Kukunjungi sekolah itu dan kelas itu, kupandang satu-satu kertas yang terpajang di dinding kelasku. “Ternyata masih dipajang ya,” kataku. “Ya, tentu saja masih dipajang, orang seperti apa yang berani melepaskan kenangan orang lain. Apalagi kalau seluruh surat-surat ini dibuat untuk dirinya,” kata sebuah suara yang sudah lama kukenal, yang selama ini kunantikan. Kulihat seorang pria tampan dengan kemeja rapi berdiri di sampingku penuh dengan wibawa. Kutatap muka penuh kebanggaan itu. Terlukis sebuah senyuman yang kukenal sejak dulu. Yang selama ini kurindukan. Tak sadar kuteteskan air mata bahagia. Pria berwajah tampan dan berwibawa itu adalah guru matematika sekolah ini sekarang. Langit, ya Langit lah namanya, sahabat terbaikku.