Final Part loooooh!!! akhirnya... alhamdulillah...

| |

          
"CORETAN MIMPI final part"


Kini aku termenung menatap buku itu. Robekan itu masih ada, tepat satu halaman sebelum coretan merah itu. “Tulisan apa ya yang ada dirobekan itu?,” tanyaku penasaran. “Rion!!, sudah selesaikan? Ayo bantu ibu memindahkan barang-barangmu ini ke dalam mobil,” panggil ibu dari bawah. Kututup buku itu dan menyimpannya dalam tas ranselku. Aku pun turun, ‘Ting tong’ terdengar suara bel. “Aku saja yang buka pak,” kataku pada supirku. Ketika aku sampai di gerbang depan tak ada siapa pun. “Apa sih maunya? Pasti anak-anak iseng lagi,” kataku menggerutu. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jambu tergeletak di bawah gerbang rumahku. Aku ambil amplop itu. Tiba-tiba ingatanku kembali pada seorang perempuan manis dengan sejuta mimpinya itu. “Vita,” kataku teringat pada gadis manis itu. Kubuka ranselku dan mengambil buku biru itu.  “Vit, apa sih alasan kamu ngasih buku ini ke aku?,” tanyaku dalam hati. “Rion, ada tamu ya?,” tanya ibu sambil membawa beberapa tasku. Lamunanku tentang gadis itu pun buyar, “ngga ada bu, kayaknya anak-anak iseng deh,” kataku sambil kembali membantu ibuku memasukan tas-tasku ke bagasi mobil.
            Semua sudah beres, saatnya aku untuk pergi meraih mimpiku itu. “Ayo pak, ke bandara, cepat ya nanti ketinggalan pesawat,” kata ibu pada supirku. Mobilku pun melaju, aku kembali termenung, kubuka amplop merah jambu meisterius yang kutemukan di depan gerbang itu. Sebuah surat, kubaca surat itu:
“Assalamualaikum, hai Vita. Apa kabarmu nak? Rindu ibu pada setiap keceriaan dan senyumanmu dikelas. Maaf ibu tak bisa menemuimu lagi. Ibu titipkan surat ini pada sahabat ibu yang paling bisa ibu percaya. Ibu tak bisa meneruskan mengajar di sekolah itu lagi nak. Sakit yang diderita ibu terlalu berat. Maaf kan ibu ya nak, ibu janji jika ibu sembuh nanti ibu akan menemuimu nak, entah bagaimana caranya. Ingat, raih lah mimpimu dengan segala usaha dan doa bukan karena buku. Buku hanyalah tempat kita menuliskannya saja. Terwujud atau tidak terwujud mimpi itu tergantung pada kesungguhan diri kita meraih mimpi itu. Jika waktunya telah tiba, mimpi akan datang kepadamu ketika kau telah berusaha. Ingat janjimu ya nak, raih mimpimu setinggi langit! Ibu sayang kau. Kalau kau mau tahu, adik ibu dulu sangat mirip denganmu. Ia juga punya banyak mimpi sepertimu. Maaf ibu mungkin tak bisa bertemu denganmu lagi. Ingat pesan ibu, kau masih punya banyak waktu untuk menggapai mimpimu. Ingat itu. Peluk, cium hangat Ibu Tati.”
            
            Aku terpaku. “Inikah amplop yang waktu itu diberikan pada Vita?,” tanyaku bingung, “Kenapa bisa sampai dirumahku?.” Kukeluarkan buku biru itu dari dalam ranselku dan aku pun mulai membacanya lagi. “Hari ini aku dapat kawan baru, seperti mimpiku, tulis Vita dalam buku itu, “ Dia anak yang sangat baik. Aku tahu dia adalah orang berkecukupan, pernah sekali aku berkunjung kerumahnya. Rumahnya besaaaar sekali. Walaupun dia orang yang kaya, ia mau berteman denganku. Senangnya! Satu mimpiku tercapai. Aku akan berusaha jadi orang yang peduli dengan sekitarku agar dapat teman lebih banyak lagi.” Seiring berjalannya waktu satu demi satu mimpi Vita terwujud. Dengan usaha gigihnya ia pun mendapat nilai terbaik dikelas. Ia juga punya banyak teman.

Tapi sepertinya itu tak berjalan lama, “Hari ini aku harus pergi ke dokter. Kata ibu kemarin aku mimisan dan langsung pingsan. Aku mungkin kecapean. Sahabatku juga ikut mengatarku ke dokter.” Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi aku lihat ibu menangis, apa yang terjadi?,” tulis Vita dalam buku itu. Aku terdiam seaat mengingat hari itu. Saat itu Vita menangis seharian, “Aku ingin pulang,” kata Vita pada orang tuanya. Ya, memang ia langsung pulang hari itu. Tapi ia tak pernah masuk sekolah sejak saat itu. “Hari ini ia datang menjengukku! Aku senang sekali,” tulis Vita. Vita tertidur lemas di kamarnya. Sahabatnya itu selalu menemani Vita. Ia lah yang menghibur Vita dan membuat Vita selalu tersenyum, “Kau akan baik-baik saja,” itu lah kata-kata yang sering diucapkannya untuk menghibur Vita.

Vita terkena kanker darah. Karena orang tuanya tak sanggup bayar terapi, ia tak pernah menjalankan pengobatan seperti pengidap penyakit kanker lainnya. Hingga suatu saat ia harus menginap di rumah sakit. “Ya Allah, ini kah kesempatan terakhirku untuk bermimpi. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Aku belum jadi guru seperti Bu Tati. Aku belum membuat bahagia orang tuaku. Masih banyak yang inginku lakukan,” tulis Vita dalam bukunya. Halaman selanjutnya kosong tak ada tulisan lagi. Kututup buku itu.

Aku termenung, menatap jendela luar mobil. “Macet,” kataku dalam hati. Kulihat wajah ibu yang mulai gelisah. “Tenang bu, ngga bakal telat kok,” kataku. Aku seakan sudah tak memikirkan soal pesawatku yang mungkin sebentar lagi akan terbang meninggalkanku. Dalam pikiranku kini hanya tertulis nama sahabat yang sudah lama tak kutemui. Aku sangat bangga punya teman sepertinya. Ia lah yang mengajarkanku untuk bermimpi. “Mimpi itu adalah salah satu cara kau mengatur jalan mimpimu,” kata Vita. Ya, Vita lah sahabatku itu. Vita sangat percaya padaku, ia bahkan memberitahukan segala mimpinya padaku. Aku lah yang menemaninya saat mencari Bu Tati dan menemaninya saat ia sakit. Jujur, dulu aku adalah anak pemalu. Sejak kelas 1 SD aku sekelas dengan Vita. Aku tak pernah mempunyai teman karena sifatku ini. Hingga aku kenal dengan anak seberani dan periang seperti Vita. Aku kagum dengannya, aku ingin punya teman seperti Vita. Jalanku untuk lebih mengenal Vita terbuka setelah Ibu Tati datang. Beliau lah yang telah diam-diam mengajariku untuk berani. “Laki-laki itu harus berani! Masa loyo kayak gini?,” kata Bu Tati waktu itu. Itu lah akhir dari sifat pemaluku.

Saat itu aku menjenguknya di rumah sakit. “Hai Vit, sudah baikan? Tadi UN sudah selesai. Soalnya mudah loh, aku yakin kamu juga bisa mengerjakannya,” kataku pada Vita. Vita hanya tersenyum saat itu. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Rion, ini kutitipkan padamu, ini adalah buku mimpi. Jika kau menuliskan mimpimu di dalamnya, maka kelak mimpimu akan tercapai,” kata Vita sambil memberikan buku biru lusuh itu padaku.

Sejak saat itu lah aku tak pernah bertemu dengan Vita. Aku tersenyum mengingat hari-hariku bersama sahabatku itu. Aku membuka buku itu lagi. Aku seharusnya menuliskan mimpiku di buku ini seperti kata Vita. Tak sengaja halaman terakhir buku itu terbuka, terdapat tulisan di halaman itu yang belum sempat kubaca:

Rion, terimakasih kau telah menjadi sahabatku. Mimpi terbesarku adalah menjadi guru. Tapi kini aku sadar, mimpi terbesarku bukan itu. Tapi aku ingin bisa melakukan banyak hal bersamamu. Tak ku sadari... aku ingin terus bersamamu meraih mimpi bersama. Namun sepertinya tak ada lagi harapan, aku dengar bahwa aku terkena kanker darah tingkat lanjut. Hanya 3-80% orang saja yang bisa sembuh dari penyakit ini. Itu juga yang secara rutin menjalankan terapi. Aku minta maaf selalu menolah bantuan dari ibumu. Tapi mungkin ini memang takdir Allah. Mimpiku masih banyak. Kau lihatkan ada robekan kertas ditengah-tengah buku ini? Itu adalah mimpi terbesarku. Tentu saja menjadi guru seperti yang pernah kuceritakan. Aku selalu menyimpan robekan kertas itu walau sempat kubuang. Aku tahu kau selalu bilang aku akan sembuh dan aku tahu aku bisa sembuh dari penyakit ini. Rasanya senang bila bisa kembali masuk sekolah dan bermain bersamamu lagi. Buku ini kuberikan padamu untuk kau lanjutkan. Tulis mimpi-mimpimu di atasnya dan perlihatkan padaku saat aku sudah sembuh nanti. Kau harus janji!”

Setetes air mata jatuh dari pipiku. Andaikan itu terjadi. Sehari setelah ia memberikan buku ini padaku, pagi sekali, aku terbangun dari tidurku. Aku melihat ibu mengenakan baju serba hitam. Aku tak mau keluar dari kamar. Saat itu ibu mengetuk pintu dan mengajakku, aku tahu aku tahu apa yang terjadi. Saat ibu mengatakannya aku berteriak dan menutup telingaku. Ya, Vita telah pergi meninggalkan sejuta mimpinya yang tertulis di buku itu.

Aku telah sampai di bandara. Semua koperku sudah diangkut menuju kabin pesawat. Aku berpamitan dengan ibuku. “Titip salamku pada ayak ya bu,” kataku. Aku memeluk ibuku. Seorang pramugari menunjukkan kursi dimana aku harus duduk selama 8 jam. Jerman, ya, Jerman adalah negara tujuanku. Di sanalah nanti aku akan melanjutkan sekolahku. Aku kembali membuka amplop merah jambu misterius itu. Ternyata ada satu surat lagi. Dilihat dari tulisannya sepertinya aku kenal. Kubandingkan surat tadi dengan surat yang Bu Tati berikan untuk Vita. Ini! Tak salah lagi, tulisannya sama. Bu Tati kah orang yang menulis dan mengirimkan surat ini? Aku membuka surat itu:

“Assalamualaikum nak? Lama tak berjumpa. Tak kubayangkan sepertinya kau kini sudah besar dan semakin tampan. Ini surat dariku untukmu beserta surat yang pernah kuberikan untuk Vita. Aku tak sempat memberikan ini pada Vita secara langsung. Aku sakit parah saat itu. Rumah sakit sepertinya tempat yang tepat untukku beristirahat. Aku sengaja tak memberitahukan nama rumah sakitnya. Takut Vita khawatir dengan keadaanku. Kini aku sudah sembuh, uang pensiunan yang sekolah berikan waktu itu sangatlah membantu pengobatanku. Sekarang aku tinggal di rumah penampungan. Di sini aku mengajarkan berbagai hal yang sama seperti dulu pada orang-orang seusiaku. Lucu ya? Bagai mengajar kalian lagi. Aku bertemu dengan ibunya di pemakaman Vita. Ia memberikan surat yang dulu kuberikan pada Vit. Bersama surat ini kutitipkan surat untuk Vita itu. Jaga baik-baik surat itu bersama dengan buku yang pernah kuberikan pada Vita. Salam, Bu Tati.”

Andai Vita tahu isi surat ini, pasti ia akan bahagia. Waktunya pesawat terbang. Seluruh penumpang telah memasang sabuk pengamannya, begitu pun aku. Aku menatap keluar jendela pesawat. Aku sudah terbang menggapai mimpiku sekarang. Kuambil sebuah pena dari tasku. “Mimpiku:1. Melanjutkan sekolah ke Jerman. Vita, aku janji, kuakan meneruskan episode-episode dalam menggapai mimpi-mimpi itu. Hingga suatu hari nanti kau tahu bahwa mimpi terbesarku adalah bertemu dengan sahabat terbaikku dan berkata ‘kau lah mimpi terbesarku’... “


fin... (tamat) akhirnya... maaf ya kalo ga rame-rame amat :) hehe

tunggu Full Versionnya ya!!  

0 komentar:

Posting Komentar

.

Final Part loooooh!!! akhirnya... alhamdulillah...

          
"CORETAN MIMPI final part"


Kini aku termenung menatap buku itu. Robekan itu masih ada, tepat satu halaman sebelum coretan merah itu. “Tulisan apa ya yang ada dirobekan itu?,” tanyaku penasaran. “Rion!!, sudah selesaikan? Ayo bantu ibu memindahkan barang-barangmu ini ke dalam mobil,” panggil ibu dari bawah. Kututup buku itu dan menyimpannya dalam tas ranselku. Aku pun turun, ‘Ting tong’ terdengar suara bel. “Aku saja yang buka pak,” kataku pada supirku. Ketika aku sampai di gerbang depan tak ada siapa pun. “Apa sih maunya? Pasti anak-anak iseng lagi,” kataku menggerutu. Tiba-tiba aku melihat sebuah amplop merah jambu tergeletak di bawah gerbang rumahku. Aku ambil amplop itu. Tiba-tiba ingatanku kembali pada seorang perempuan manis dengan sejuta mimpinya itu. “Vita,” kataku teringat pada gadis manis itu. Kubuka ranselku dan mengambil buku biru itu.  “Vit, apa sih alasan kamu ngasih buku ini ke aku?,” tanyaku dalam hati. “Rion, ada tamu ya?,” tanya ibu sambil membawa beberapa tasku. Lamunanku tentang gadis itu pun buyar, “ngga ada bu, kayaknya anak-anak iseng deh,” kataku sambil kembali membantu ibuku memasukan tas-tasku ke bagasi mobil.
            Semua sudah beres, saatnya aku untuk pergi meraih mimpiku itu. “Ayo pak, ke bandara, cepat ya nanti ketinggalan pesawat,” kata ibu pada supirku. Mobilku pun melaju, aku kembali termenung, kubuka amplop merah jambu meisterius yang kutemukan di depan gerbang itu. Sebuah surat, kubaca surat itu:
“Assalamualaikum, hai Vita. Apa kabarmu nak? Rindu ibu pada setiap keceriaan dan senyumanmu dikelas. Maaf ibu tak bisa menemuimu lagi. Ibu titipkan surat ini pada sahabat ibu yang paling bisa ibu percaya. Ibu tak bisa meneruskan mengajar di sekolah itu lagi nak. Sakit yang diderita ibu terlalu berat. Maaf kan ibu ya nak, ibu janji jika ibu sembuh nanti ibu akan menemuimu nak, entah bagaimana caranya. Ingat, raih lah mimpimu dengan segala usaha dan doa bukan karena buku. Buku hanyalah tempat kita menuliskannya saja. Terwujud atau tidak terwujud mimpi itu tergantung pada kesungguhan diri kita meraih mimpi itu. Jika waktunya telah tiba, mimpi akan datang kepadamu ketika kau telah berusaha. Ingat janjimu ya nak, raih mimpimu setinggi langit! Ibu sayang kau. Kalau kau mau tahu, adik ibu dulu sangat mirip denganmu. Ia juga punya banyak mimpi sepertimu. Maaf ibu mungkin tak bisa bertemu denganmu lagi. Ingat pesan ibu, kau masih punya banyak waktu untuk menggapai mimpimu. Ingat itu. Peluk, cium hangat Ibu Tati.”
            
            Aku terpaku. “Inikah amplop yang waktu itu diberikan pada Vita?,” tanyaku bingung, “Kenapa bisa sampai dirumahku?.” Kukeluarkan buku biru itu dari dalam ranselku dan aku pun mulai membacanya lagi. “Hari ini aku dapat kawan baru, seperti mimpiku, tulis Vita dalam buku itu, “ Dia anak yang sangat baik. Aku tahu dia adalah orang berkecukupan, pernah sekali aku berkunjung kerumahnya. Rumahnya besaaaar sekali. Walaupun dia orang yang kaya, ia mau berteman denganku. Senangnya! Satu mimpiku tercapai. Aku akan berusaha jadi orang yang peduli dengan sekitarku agar dapat teman lebih banyak lagi.” Seiring berjalannya waktu satu demi satu mimpi Vita terwujud. Dengan usaha gigihnya ia pun mendapat nilai terbaik dikelas. Ia juga punya banyak teman.

Tapi sepertinya itu tak berjalan lama, “Hari ini aku harus pergi ke dokter. Kata ibu kemarin aku mimisan dan langsung pingsan. Aku mungkin kecapean. Sahabatku juga ikut mengatarku ke dokter.” Ya Allah apa sebenarnya yang terjadi aku lihat ibu menangis, apa yang terjadi?,” tulis Vita dalam buku itu. Aku terdiam seaat mengingat hari itu. Saat itu Vita menangis seharian, “Aku ingin pulang,” kata Vita pada orang tuanya. Ya, memang ia langsung pulang hari itu. Tapi ia tak pernah masuk sekolah sejak saat itu. “Hari ini ia datang menjengukku! Aku senang sekali,” tulis Vita. Vita tertidur lemas di kamarnya. Sahabatnya itu selalu menemani Vita. Ia lah yang menghibur Vita dan membuat Vita selalu tersenyum, “Kau akan baik-baik saja,” itu lah kata-kata yang sering diucapkannya untuk menghibur Vita.

Vita terkena kanker darah. Karena orang tuanya tak sanggup bayar terapi, ia tak pernah menjalankan pengobatan seperti pengidap penyakit kanker lainnya. Hingga suatu saat ia harus menginap di rumah sakit. “Ya Allah, ini kah kesempatan terakhirku untuk bermimpi. Mimpiku masih banyak yang belum tercapai. Aku belum jadi guru seperti Bu Tati. Aku belum membuat bahagia orang tuaku. Masih banyak yang inginku lakukan,” tulis Vita dalam bukunya. Halaman selanjutnya kosong tak ada tulisan lagi. Kututup buku itu.

Aku termenung, menatap jendela luar mobil. “Macet,” kataku dalam hati. Kulihat wajah ibu yang mulai gelisah. “Tenang bu, ngga bakal telat kok,” kataku. Aku seakan sudah tak memikirkan soal pesawatku yang mungkin sebentar lagi akan terbang meninggalkanku. Dalam pikiranku kini hanya tertulis nama sahabat yang sudah lama tak kutemui. Aku sangat bangga punya teman sepertinya. Ia lah yang mengajarkanku untuk bermimpi. “Mimpi itu adalah salah satu cara kau mengatur jalan mimpimu,” kata Vita. Ya, Vita lah sahabatku itu. Vita sangat percaya padaku, ia bahkan memberitahukan segala mimpinya padaku. Aku lah yang menemaninya saat mencari Bu Tati dan menemaninya saat ia sakit. Jujur, dulu aku adalah anak pemalu. Sejak kelas 1 SD aku sekelas dengan Vita. Aku tak pernah mempunyai teman karena sifatku ini. Hingga aku kenal dengan anak seberani dan periang seperti Vita. Aku kagum dengannya, aku ingin punya teman seperti Vita. Jalanku untuk lebih mengenal Vita terbuka setelah Ibu Tati datang. Beliau lah yang telah diam-diam mengajariku untuk berani. “Laki-laki itu harus berani! Masa loyo kayak gini?,” kata Bu Tati waktu itu. Itu lah akhir dari sifat pemaluku.

Saat itu aku menjenguknya di rumah sakit. “Hai Vit, sudah baikan? Tadi UN sudah selesai. Soalnya mudah loh, aku yakin kamu juga bisa mengerjakannya,” kataku pada Vita. Vita hanya tersenyum saat itu. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Rion, ini kutitipkan padamu, ini adalah buku mimpi. Jika kau menuliskan mimpimu di dalamnya, maka kelak mimpimu akan tercapai,” kata Vita sambil memberikan buku biru lusuh itu padaku.

Sejak saat itu lah aku tak pernah bertemu dengan Vita. Aku tersenyum mengingat hari-hariku bersama sahabatku itu. Aku membuka buku itu lagi. Aku seharusnya menuliskan mimpiku di buku ini seperti kata Vita. Tak sengaja halaman terakhir buku itu terbuka, terdapat tulisan di halaman itu yang belum sempat kubaca:

Rion, terimakasih kau telah menjadi sahabatku. Mimpi terbesarku adalah menjadi guru. Tapi kini aku sadar, mimpi terbesarku bukan itu. Tapi aku ingin bisa melakukan banyak hal bersamamu. Tak ku sadari... aku ingin terus bersamamu meraih mimpi bersama. Namun sepertinya tak ada lagi harapan, aku dengar bahwa aku terkena kanker darah tingkat lanjut. Hanya 3-80% orang saja yang bisa sembuh dari penyakit ini. Itu juga yang secara rutin menjalankan terapi. Aku minta maaf selalu menolah bantuan dari ibumu. Tapi mungkin ini memang takdir Allah. Mimpiku masih banyak. Kau lihatkan ada robekan kertas ditengah-tengah buku ini? Itu adalah mimpi terbesarku. Tentu saja menjadi guru seperti yang pernah kuceritakan. Aku selalu menyimpan robekan kertas itu walau sempat kubuang. Aku tahu kau selalu bilang aku akan sembuh dan aku tahu aku bisa sembuh dari penyakit ini. Rasanya senang bila bisa kembali masuk sekolah dan bermain bersamamu lagi. Buku ini kuberikan padamu untuk kau lanjutkan. Tulis mimpi-mimpimu di atasnya dan perlihatkan padaku saat aku sudah sembuh nanti. Kau harus janji!”

Setetes air mata jatuh dari pipiku. Andaikan itu terjadi. Sehari setelah ia memberikan buku ini padaku, pagi sekali, aku terbangun dari tidurku. Aku melihat ibu mengenakan baju serba hitam. Aku tak mau keluar dari kamar. Saat itu ibu mengetuk pintu dan mengajakku, aku tahu aku tahu apa yang terjadi. Saat ibu mengatakannya aku berteriak dan menutup telingaku. Ya, Vita telah pergi meninggalkan sejuta mimpinya yang tertulis di buku itu.

Aku telah sampai di bandara. Semua koperku sudah diangkut menuju kabin pesawat. Aku berpamitan dengan ibuku. “Titip salamku pada ayak ya bu,” kataku. Aku memeluk ibuku. Seorang pramugari menunjukkan kursi dimana aku harus duduk selama 8 jam. Jerman, ya, Jerman adalah negara tujuanku. Di sanalah nanti aku akan melanjutkan sekolahku. Aku kembali membuka amplop merah jambu misterius itu. Ternyata ada satu surat lagi. Dilihat dari tulisannya sepertinya aku kenal. Kubandingkan surat tadi dengan surat yang Bu Tati berikan untuk Vita. Ini! Tak salah lagi, tulisannya sama. Bu Tati kah orang yang menulis dan mengirimkan surat ini? Aku membuka surat itu:

“Assalamualaikum nak? Lama tak berjumpa. Tak kubayangkan sepertinya kau kini sudah besar dan semakin tampan. Ini surat dariku untukmu beserta surat yang pernah kuberikan untuk Vita. Aku tak sempat memberikan ini pada Vita secara langsung. Aku sakit parah saat itu. Rumah sakit sepertinya tempat yang tepat untukku beristirahat. Aku sengaja tak memberitahukan nama rumah sakitnya. Takut Vita khawatir dengan keadaanku. Kini aku sudah sembuh, uang pensiunan yang sekolah berikan waktu itu sangatlah membantu pengobatanku. Sekarang aku tinggal di rumah penampungan. Di sini aku mengajarkan berbagai hal yang sama seperti dulu pada orang-orang seusiaku. Lucu ya? Bagai mengajar kalian lagi. Aku bertemu dengan ibunya di pemakaman Vita. Ia memberikan surat yang dulu kuberikan pada Vit. Bersama surat ini kutitipkan surat untuk Vita itu. Jaga baik-baik surat itu bersama dengan buku yang pernah kuberikan pada Vita. Salam, Bu Tati.”

Andai Vita tahu isi surat ini, pasti ia akan bahagia. Waktunya pesawat terbang. Seluruh penumpang telah memasang sabuk pengamannya, begitu pun aku. Aku menatap keluar jendela pesawat. Aku sudah terbang menggapai mimpiku sekarang. Kuambil sebuah pena dari tasku. “Mimpiku:1. Melanjutkan sekolah ke Jerman. Vita, aku janji, kuakan meneruskan episode-episode dalam menggapai mimpi-mimpi itu. Hingga suatu hari nanti kau tahu bahwa mimpi terbesarku adalah bertemu dengan sahabat terbaikku dan berkata ‘kau lah mimpi terbesarku’... “


fin... (tamat) akhirnya... maaf ya kalo ga rame-rame amat :) hehe

tunggu Full Versionnya ya!!  

0 Response to "Final Part loooooh!!! akhirnya... alhamdulillah..."

Posting Komentar